Enter your keyword

[id]Limnonectes larvaepartus: Spesies Baru Katak yang Melahirkan Kecebong Temuan Prof. Djoko T. Iskandar[/id][en]Tadpole Laying Frog, a New Species Discovered by Prof. Djoko T. Iskandar[/en]

[id]Limnonectes larvaepartus:  Spesies Baru Katak yang Melahirkan Kecebong Temuan Prof. Djoko T. Iskandar[/id][en]Tadpole Laying Frog, a New Species Discovered by Prof. Djoko T. Iskandar[/en]

[id]Limnonectes larvaepartus: Spesies Baru Katak yang Melahirkan Kecebong Temuan Prof. Djoko T. Iskandar[/id][en]Tadpole Laying Frog, a New Species Discovered by Prof. Djoko T. Iskandar[/en]

[id]

 

Tepat di akhir tahun 2014, dunia dikejutkan oleh publikasi terbaru Prof. Djoko T. Iskandar, herpetolog dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB. Setelah sempat menggemparkan dunia sains melalui publikasi terkait katak tak berparu-paru dengan nama ilmiah Barbourula kalimantanensis pada tahun 2008, kali ini beliau kembali membuat kehebohan dengan publikasi terkait spesies katak yang mampu melahirkan kecebong.

Publikasi berjudul A Novel Reproductive Mode in Frogs: A New Species of Fanged Frog with Internal Fertilization and Birth of Tadpoles yang dimuat di jurnal PLOS ONE pada 31 Desember 2014 lalu ini dinyatakan oleh sejumlah herpetolog dunia sebagai publikasi yang berharga dan mengagumkan. Wajar apabila setelahnya, media ilmiah maupun media informasi umum ramai mengutip publikasi tersebut.

Bukan sekedar publikasi spesies baru Katak Bertaring Sulawesi yang menjadi pusat kekaguman, melainkan juga penemuan cara reproduksi baru yang dilakukan oleh spesies bernama Limnonectes larvaepartus ini. Spesies tersebut merupakan satu dari 10-12 spesies katak yang mengalami evolusi fertilisasi internal dan satu-satunya katak di dunia yang melakukan melahirkan kecebong. Karakter kedua ini merupakan karakter khas yang membuatnya diberi nama belakang larvaepartus (larvae = larva; partus = melahirkan).

species katak baru

Foto oleh Jimmy McGuire

Pada dasarnya, publikasi ini bukanlah hasil penelitian singkat. Katak ini telah dijumpai oleh Prof. Djoko sejak survey keragaman katak Sulawesi pada tahun 1989. Dalam hasil temuan dari Dumoga Bone (kini Bogani Nani Wartabone), beliau menemukan bahwa individu betina yang tertangkap memiliki 33 ekor kecebong di oviduk kirinya. Pada temuan lain di Sulawesi Tengah bagian utara, ditemukan katak betina yang memiliki 50 ekor kecebong pada stadium 36 tanpa sisa yolk di intestinnya. Temuan ini bahkan menyebabkan Dr. R. Inger dari Field Museum of Natural History, Chicago untuk mengunjungi Bandung pada tahun 1990 dan secara langsung mengkonfirmasi temuan ini. Hasil penelitian awal ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1993 dalam Jurnal Matematika dan Sains.

Meskipun begitu, temuan ini saja belum cukup untuk mengukuhkannya sebagai spesies baru. “Publikasi spesies baru bukanlah sekedar memberi nama suatu spesimen, melainkan juga harus mampu menerangkan biologi dan evolusi spesies tersebut. Dengan masih terbatasnya jumlah spesimen serta bukti biologis lain yang dibutuhkan untuk mendeskripsikannya saat itu, kami belum bisa secara kuat mengukuhkannya sebagai suatu spesies baru”, ujarnya. Belum lagi, setelah itu ditemukan banyak spesimen yang belum terdeskripsikan dalam berbagai ukuran dan dengan strategi reproduksi yang unik.

Karenanya, Prof. Djoko dan timnya membuat pendekatan khusus dan mulai mempelajari genetika dari kelompok ini. Dengan bantuan beberapa kolega dan institusi, mereka mampu melakukan analisis genetik spesimen yang berasal nyaris dari seluruh Indonesia. Sebagai hasilnya, diterbitkan empat publikasi genetika yang menjadi dasar penentuan distribusi spesies beserta hubungannya dengan spesies lain yang serupa. Menggunakan data dari 19 individu betina yang memiliki kecebong serta dengan menyaksikan bahwa telur yang diekstrak dari betina bunting berkembang menjadi kecebong, spesies ini akhirnya dideskripsikan sebagai Limnonectes larvaepartus.

Dalam kehidupan ilmiah, setiap jawaban tak ayal merupakan suatu pertanyaan lanjutan

Publikasi mengejutkan tersebut bukanlah akhir dari penelusuran ilmiah atas spesies istimewa ini. Hingga kini, perilaku melahirkan L. larvaepartus masih merupakan misteri dunia ilmiah. Bagaimana bisa individu katak jantan yang tidak memiliki penis mampu melakukan fertilisasi internal ke tubuh sang betina? Beberapa spesies memang mengembangkan struktur ekor yang berperan sebagai pseudopenis untuk mendorong sperma memasuki tubuh betina. Namun, spesies ini tidak memilikinya. Bagaimana pula mekanisme biologis di tubuh individu betina sehingga ia mampu melahirkan keturunannya langsung dalam bentuk kecebong?

Mengenai hal ini Prof. Djoko menyatakan bahwa deskripsi spesies yang dilakukannya hanya merupakan awal dari rangkaian penelitian yang perlu dilakukan ke depan. “Saya meyakini bahwa penelitian proses biologi rinci dari spesies ini merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan kelak dapat diaplikasikan di berbagai bidang, termasuk di bidang pengobatan. Saya berharap agar kawan-kawan dari SITH-ITB yang menekuni bidang Biologi Perkembangan dapat mewujudkan hal ini,” sambungnya saat ditemui oleh penulis.

(Penulis: Arni Rahmawati)

[/id]

[en]

 

By the end of 2014, public was shocked of the latest publication by Prof. Djoko T. Iskandar, herpetologist from School of Life Sciences and Technology, ITB. After the publicity of Barbourula kalimantanensis – a lungless frog from Borneo, recently the Profesor again stirred up the scientific world by a tadpole laying fanged frog species.

A paper entitled A Novel Reproductive Mode in Frogs: A New Species of Fanged Frog with Internal Fertilization and Birth of Tadpoles published in PLoS ONE on December 31, 2014 is considered as one of the most priceless and astounding publications by herpetologists worldwide. No wonder that both scientific as well as popular media are so eager in highlighting the news.

It was not mere the new fanged frog species that surprised us. The new species of Sulawesi Fanged Frog actually has a very peculiar way to reproduce that is very uncommon for frogs. This species is one of 10-12 frog species evolving internal fertilisation mechanism as well as the only frog species to lay its tadpoles. Thus it’s named Limnonectes larvaepartus, the larvae (tadpole) laying frog.

New frog species

This publication is not an upshot of a brief research. As a matter of fact, this frog had been long found during the Sulawesi frogs biodiversity exploration in 1989. Prof. Djoko found that a female frog caught in Dumoga Bone (now called Bogani Nani Wartabone) had 33 tadpoles in her left oviduct. A catch from northern part of Central Sulawesi similarly had 50 strongly pigmented tadpoles in advanced stage (Gosner 36) with no yolk left in the intestine. This finding prompted Dr. R. Inger from Field Museum of Natural History, Chicago to fly straight to Bandung and confirmed the discovery in 1990. The very first publication was released on Jurnal Matematika dan Sains in 1993.

The task became more and more complicated as they found several similar looking frogs of the genus Limnonectes with very subtle differences compared to the tadpole laying species from all over Sulawesi. This genus has a specific character and eventually known as fanged frogs. Usually males have developed fangs at the lower jaws, but in this particular species, adult females also bear these protrusions although smaller compared to adult males.

Afterwards Prof. Djoko and team spent many months in Sulawesi and visited the island in about a dozen expeditions to study the biology and evolution of the frogs. Yet, they found it’s hard to firmly establish the range of that species. “A publication of newly discovered species is not as simple as giving a name on the specimens, but to explain its biology and evolution. With limited samples and lack of other biological proof to describe the species, we can not firmly establish the specimens as members of a new species,” he said.

Instead, they discovered more and more undescribed species from tiny to giant forms and various unique reproductive strategies unlike the tadpole laying species. Several lay eggs on land and even up on leaves in shrubs. Others lay at the border of water body with at least three forms of observed parental care strategies.

At that point, they then decided to make a different approach and studied the genetics of this interesting group. By the help of several colleagues and institutions, they were able to carry the genetic analysis involving nearly all forms from all over Indonesia. Four important genetic papers were produced in 2000 to 2008 and finally established the approximate distribution of the species as well as its relationships with the similar in size looking species. Having 19 females carrying tadpoles, as well as witnessing that eggs extracted from three pregnant females develop into tadpoles, the species was later described as Limnonectes larvaepartus within the latest publication in PLoS ONE.

In science, every answer will definitely lead us to another questions

This awe-inspiring paper is not the end for the scientific quest of the distinctive species. The phenomenon of laying tadpole in L. larvaepartus  is still mystery. How the penisless male frogs do internal fertilisation? Some other species developed pseudopenis to push the sperm into the female, yet L. larvaepartus has none of it. The mechanism within the female body to support  the ability to lay tadpoles  is also remaining unsolved question.

About it, Prof. Djoko stated that a description of the new species is only the beginning. He added, “I do believe that researches on detailed biological processes within this particular species are essential. The results may be applied in various subjects, including medical area. Hopefully, the fellow researchers from developmental biology research group in SITH-ITB can further figure it out.”

(By: Arni Rahmawati and Rahman Rasyidi)

 

[/en]

No Comments

Post a Comment

Your email address will not be published.

en_USEnglish
X